Rabu, 28 Mei 2008

BERPESTA PORA DISAAT RAKYAT KESULITAN SEGALANYA, DUHHHHH......!

biisnis Setelah Reformasi
Bangkitnya Para Pengusaha lama......

Setelah sepuluh tahun reformasi, taipan-taipan kakap kembali berkuasa. Cantelan ke penguasa tak seerat dulu.

Lagu Birdland mengentak ruang pertemuan di rumah Arifin Panigoro, kawasan Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, awal Maret lalu. The Manhattan Transfer, kuartet vokal asal New York, menyanyikannya di tepi kolam kediaman pendiri Grup Medco itu.

…Hey man, the music really turn you on Really? Ya turn me around and turn me on…

Perpaduan vokal Cheryl Bentyne, Tim Hauser, Alan Paul, dan Janis Segal membius ratusan tamu malam itu. Hadir di sana antara lain Menteri Perdagangan Mari Pangestu, politikus Eros Djarot, dan pengusaha Peter F. Gontha. Anggota keluarga Panigoro hadir lengkap. Gelas-gelas wine diedarkan.

Di ruang dalam, Ron King All Stars Big Band baru saja membawa suasana lain. Pemusik trompet asal California itu memainkan swing. Malam itu Arifin ”membajak” para pemusik internasional sebelum mereka tampil di Java Jazz Festival. ”AP juga pernah mengundang Dave Koz ke rumah,” kata seorang anggota staf Medco menyebut inisial nama bosnya. Dave Koz adalah peniup saksofon dari Amerika.

Saat ini memang masa kejayaan bisnis Arifin Panigoro dan keluarganya. Usaha bekas politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan itu merentang dari Sabang sampai Merauke. Harga minyak yang membubung sampai di atas US$ 100 per barel menggelembungkan kas perusahaannya. Dengan bendera Medco, ia kini mulai membentangkan sayap ke Libya dan Brasil.

Nilai kekayaannya berlipat-lipat. Satu dasawarsa silam, namanya ”tidak terdeteksi” di daftar 77 orang terkaya versi Pusat Data Bisnis Indonesia. Kini ia bertengger di papan atas. Hartanya bernilai US$ 880 juta atau sekitar Rp 8 triliun, menurut majalah Forbes. Tak aneh, ia mudah saja membuat para musisi kelas dunia manggung di rumahnya.

Era reformasi seperti booster bagi Arifin, kini 63 tahun. Ia memang belum menjadi yang terkaya, tapi ia telah menembus kerajaan para taipan yang sebelumnya sudah malang-melintang di zaman Presiden Soeharto. ”Banyak kebetulannya, harga minyak lagi mahal. Coba kalau harga minyak US$ 10 per barel, sudah bangkrut dari kapan-kapan,” katanya merendah.

Dan ia tidak sendiri. Nama penantang baru ini antara lain Trihatma Kusuma Haliman, yang memimpin perusahaan properti Grup Agung Podomoro. Ada pula bekas eksekutif Astra International, Theodore Permadi Rachmat, yang membangun Grup Triputra; Hary Tanoesoedibjo, yang memimpin Bhakti Investama dan menjadi penguasa Bimantara; Chairul Tanjung dengan Grup Para; juga Sudhamek Agung Waspodo dengan Grup Garudafood.

Dick Rachmawan dari PT Actual Data Niaga, perusahaan riset bisnis, mengelompokkan Arifin dan sejumlah pengusaha lain itu sebagai ”raja-raja baru”. Mereka pengusaha papan atas atau pemimpin kawakan perusahaan yang tumbuh sebelum reformasi tapi berkembang pesat setelah rezim berganti. Sebagian besar kelompok usaha itu diuntungkan situasi saat ini. Arifin salah satunya. Selain itu, tingginya permintaan sawit membuat konglomerat yang telah berkecimpung lama di bidang ini bak tertimpa durian runtuh. Triputra Group, yang didirikan Theodore Permadi Rachmat, kini cukup ekspansif mengambil alih beberapa perusahaan kelapa sawit.

Tentu saja, raja lama tetap berkuasa. Contohnya Grup Sinarmas, yang menguasai pasar kertas, sawit, hingga bank. Menurut Actual Data Niaga, kini kelompok usaha Eka Tjipta Widjaya itu menduduki posisi teratas orang terkaya Indonesia. Sukanto Tanoto, yang memimpin kerajaan bisnis Raja Garuda Mas dari Singapura, juga makin besar. Begitu pula Grup Salim, Djarum, Lippo, Ciputra, dan Gudang Garam.

Grup Salim, yang dulu malang-melintang tapi kemudian terempas badai krisis, kini kembali menggurita. Bisnis mereka tetap beranak-pinak, baik di dalam maupun luar negeri. Sebagian aset yang sempat diserahkan ke Badan Penyehatan Perbankan Nasional sebagai pembayaran utang kelompok usaha itu kini kembali mereka kuasai.

Melalui PT Indofood Sukses Makmur, Grup Salim tetap merajai pasar mi instan dan tepung terigu, meskipun pangsa pasarnya tak sebesar dulu—setelah keran impor tepung dibuka lebar-lebar. ”Kami kini menguasai 70 persen pasar terigu,” kata Franciscus Welirang, wakil direktur utama perusahaan itu. ”Begitu juga pasar mi instan.”

Christianto Wibisono, Ketua Global Nexus Institute, lembaga lobi dan konsultan strategi, mengatakan semua raja lama telah kembali. ”Kalau ada yang dikatakan pemain baru,” katanya, ”sebenarnya mereka pemain lama yang dulu kurang agresif.” Zaman reformasi telah membuat mereka bisa berkompetisi.

Baik pada zaman Orde Lama maupun Orde Baru, para penguasa bisnis membangun kerajaannya dengan mengandalkan kedekatan politik. Ambil contoh Sudono Salim. Ia memulai bisnisnya dari Semarang pada 1950-an, dengan menjadi pemasok Komando Daerah Militer Diponegoro, yang saat itu dipimpin Soeharto.

Salim memanfaatkan Mayor Soedjono Hoemardani, Asisten Logistik Panglima Komando Daerah Militer Diponegoro, sebagai jembatan bisnis. Tahun berganti hingga Soeharto berkuasa di puncak kekuasaan pada 1966. Soedjono berubah menjadi jembatan emas bagi Salim ketika ia diangkat menjadi asisten pribadi presiden.

Lewat priayi Solo itu, Salim alias Liem Sioe Liong mendapat berbagai monopoli. Bersama Probosutedjo, adik tiri Soeharto, ia memperoleh monopoli impor cengkeh dan pengolahan gandum impor. Berbekal privilese luar biasa inilah Salim membesarkan PT Bogasari, yang kini berada di bawah PT Indofood Sukses Makmur. Bertahun-tahun Bogasari menguasai pasar terigu.
Hubungan Liem Sioe Liong dengan Keluarga Cendana semakin kukuh dengan masuknya Sudwikatmono, adik sepupu Soeharto, ke Grup Salim. Bank Central Asia milik Salim juga memberi Siti Hardijanti Rukmana dan Sigit Harjojudanto, dua anak Soeharto, 32 persen saham. Inilah ”persatuan dan kesatuan” penguasa dan pengusaha yang sesungguh-sungguhny a.

Pola serupa dilakukan pengusaha lain, termasuk anak dan cucu Soeharto. Hutomo Mandala Putra memperoleh kekayaan luar biasa dengan tata niaga cengkeh yang diberikan bapaknya. Belakangan, Tommy juga mendapatkan konsesi membuat mobil nasional Timor. Bambang Trihatmodjo menikmati keuntungan tata niaga jeruk. Mereka berdua juga banyak bermain di bisnis perminyakan dengan Pertamina. Ari Sigit sebetulnya juga bakal menikmati tata niaga minuman keras dengan mendapatkan cukai. Tapi konsesi ini dibatalkan.
Para taipan juga ugal-ugalan membangun bisnis. Mereka tidak membesarkan usaha dengan itung-itungan bisnis yang sehat. Begini polanya: para taipan merambah berbagai bidang dengan utang yang dikucurkan bank milik mereka sendiri. Dengan tekanan pemilik, bank-bank itu melanggar prinsip kehati-hatian. Mereka juga jorjoran meminjam dari kreditor asing.

Krisis keuangan menghantam Asia pada 1997. Bagaikan tsunami, krisis menyapu bangunan ekonomi bertiang rapuh itu. Kekuasaan Orde Baru juga oleng. Mahasiswa di berbagai kota mulai turun ke jalan, sesuatu yang sebelumnya dilarang.

Aksi memuncak ketika pada Maret 1998 Soeharto terpilih kembali menjadi presiden. Ia mengangkat Siti Hardijanti dan Bob Hasan, kroninya, sebagai menteri. Ketika itu, Soeharto juga sempat menaikkan harga bahan bakar minyak. Mahasiswa berteriak: turunkan Soeharto, turunkan harga.

…12 Mei 1998

Empat mahasiswa Universitas Trisakti tewas ketika berdemonstrasi di kampus mereka. Peluru aparat keamanan menembus mereka: Elang Mulya Lesmana, Hafidhin Royan, Hery Hertanto, dan Hendriawan Sie. Kerusuhan menjalar di mana-mana. Soeharto menyerah. Ia mundur pada 21 Mei tahun yang sama Bisnis para konglomerat ikut runtuh. Melemahnya dolar membuat mereka tak sanggup membayar utang. Lengsernya Soeharto juga mengakibatkan patronase yang dibangun sebelumnya tak banyak gunanya. Apalagi Dana Moneter Internasional sebagai ”juragan baru” Indonesia mensyaratkan liberalisasi ekonomi dan pencabutan banyak konsesi.

Walhasil, mereka harus menyerahkan aset-aset ke Badan Penyehatan Perbankan Nasional untuk membayar utang. Tapi tidak semua dari mereka karam, karena telah menyiapkan sekoci. Jauh-jauh hari, sebagian dari mereka mengalirkan uangnya ke luar negeri. The International Herald Tribune menulis pada 16 Mei 1998, para taipan Indonesia memarkir uangnya di kantor bank-bank Eropa di Singapura.

Mereka juga memiliki perusahaan yang dikendalikan dari Jakarta. Grup Salim menguasai First Pacific Co., yang terdaftar di Bursa Efek Hong Kong. Eka Tjipta Widjaja, pemimpin Sinarmas, menurut Herald, memiliki hotel di California dan Texas, Amerika Serikat. Keluarga Wanandi, yang membangun Grup Gemala, juga memiliki saham di Arvin Industries Inc., perusahaan pembuat peralatan otomotif di Amerika Serikat.

Dick Rachmawan menyebutkan para taipan juga membangun ”two dollars company”: perusahaan beralamat British Virgin Islands atau Kepulauan Mauritius dengan pola kepemilikan berliku-liku bak labirin. ”Ini perusahaan yang hanya beralamat PO box,” ia menjelaskan. Tapi merekalah yang menjadi pengendali berbagai bisnis di seluruh penjuru dunia.

***l

Lewat perusahaan-perusaha an sekoci itu, antara lain, para konglomerat meraih kembali kejayaan bisnisnya. First Pacific kini memiliki 51 persen Indofood, dengan bendera CAB Holding Limited. Beberapa perusahaan yang beralamat di Mauritius—dan diduga milik para taipan lama—juga membeli sejumlah aset di Badan Penyehatan Perbankan Nasional.

Badan Penyehatan juga menjadi pintu investor asing untuk menyerbu Indonesia. Perusahaan Malaysia dan Singapura pun mendapat berkah reformasi: membeli aset-aset eks konglomerat dengan harga obral.

Holding pemerintah Singapura, Temasek, dan holding pemerintah Malaysia, Khazanah Berhad, menjadi pemangsa banyak perusahaan kakap Indonesia. Untuk mengejar setoran ke anggaran pendapatan dan belanja negara, pemerintah kala itu memang menjual aset-aset tersebut dengan harga rendah.Para konglomerat juga telah mengambil pelajaran dari krisis. Menurut ekonom Faisal Basri, mereka kini berfokus pada bidang-bidang yang mereka kuasai. Christianto Wibisono menyebutkan mereka kembali ke bisnis inti. ”Mereka kapok macam-macam,” ujarnya.

Di zaman reformasi, lobi-lobi politik juga tak menjadi beban utama pengusaha. Para pelaku usaha tetap menjalin hubungan dengan politikus, tapi tak sekental dulu. Mereka ”berinvestasi” ke kanal-kanal politik, termasuk para anggota Dewan Perwakilan Rakyat.

Pande Radja Silalahi, ekonom dari Center for Strategic and International Studies, mengatakan para konglomerat dulu mengembangkan usaha berdasarkan keinginan pemerintah. ”Sekarang dibiarkan mengikuti mekanisme pasar, yang kadang-kadang bahkan tak sesuai dengan kepentingan nasional,” tuturnya.Dengan mekanisme pasar, pengusaha yang sudah telanjur kuat akan terus menguasai pasar. Itu sebabnya, menurut Arifin Panigoro, penguasa ekonomi Indonesia tetap kelompok yang sama dengan sepuluh tahun lalu. ”Empat L: lu lagi lu lagi…,” katanya.

Lagu Birdland terus mengentak:
…down them stairs, lose them cares. Where?

Sumber: Majalah Tempo, Edisi. 12/XXXVII/12 - 18 Mei 2008,

Tidak ada komentar: